Di usianya yang masih sangat belia,
Hilyah sudah terhitung cukup matang dalam membaca Al-Qur'an dengan tartil.
Seakan-akan ia sudah mengerti benar bagaimana cara membaca Al-Qur'an menurut
kaidah ilmu tajwid. Ditambah lagi kefasihannya dalam menyebutkan huruf-huruf hijaiyah
(makharijul huruf). Padahal menurut sang ayah, secara teori sama sekali murid
TK B itu belum mengerti sama sekali.
Hilyah
belum tahu jika ada yang dibaca pendek disebut A, dibaca panjang disebut B,
seperti yang dijabarkan dalam kaidah ilmu tajwid. "Bacaan Hilyah bisa tartil
karena dari awal sudah dikenalkan makharijul hurufnya. Dan untuk mengenalkan
itu memang tergantung guru yang mengajarkan. Kita kenalkan cara membaca denan
tajwid yang benar. Sehingga ketiak dia sudah baca, tajwidnya sudah bagus,
termasuk ketika menghafal," jelas sang ayah panjang lebar.
Dengan demikian, meski gadis cilik ini terbilang awam soal
kaidah membaca Al-Qur'an, tetapi apa yang dibacanya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, lantaran ia mampu baca Al-Qur'an seperti bacaan orang yang sudah
paham ilmu tajwid.
Rahasia
Semasa Hamil.
Dibalik kemampuan Hilyah menghafal ayat-ayat Al-Qur'an dengan
cepat, ternyata semua itu tak terlepas dari kebiasaan sang ibu yang rajin
membaca Al-Qur'an selama mengandung Hilyah. Nuroniyah telah mengkhatamkan
Al-Qur'an sebanyak 10x ketika Hilyah masih di dalam perut. Dan setiap kali akan
membaca, ia selalu membiasakan diri berdialog , mengajak bicara janin Hilyah
sembari mengatakan, "Dek, dengarkan ya, mama mau baca
Al-Qur'an".
Perempuan alumnus kebidanan itu meyakini bahwa otak janin telah
mampu merespons segala yang ia dengar. Sejak di dalam rahim, anak sudah dapat
belajar, merasa dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang. Keyakinan
sang bunda memang telah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan bidang pendidikan
anak dalam kandungan yang telah banyak melakukan riset baru dan riset ulang
secara kontinyu dengan membuat langkah-langkah dan metode baru mengenai praktek
pendidikan pralahir ini.
Bahkan riset yang dilakukan F. Rene Van de Carr, dkk, menyatakan
bahwa stimulus pada bayi pralahir akan membawa dampak positif seperti cepat
mahir bicara, menirukan suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara
spontan, mampu menoleh ke arah suara orang tuanya, lebih tanggap terhadap
musik, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat dewasa.
Oleh karena itu, tak heran bila Hilyah kemudian mampu
beradaptasi sangat cepat terhadap segala hal yang ia dengar, lihat dan rasakan.
Hilyah yang begitu masif dihujani bacaan-bacaan Al-Qur'an sejak dalam kandungan
akhirnya dengan mudah membaca Al-Qur'an ketika usianya baru memasuki 3 tahun.
Masa
Golden Age.
Hal lain yang tak kalah penting dilakukan orang tua Hilyah
adalah konsistensi memperdengarkan bacaan-bacaan Al-Qur'an dan mengajarkannya.
Begitu Hilyah terlahir dengan selamat, kedua orang tuanya dengan massif
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di hadapan Hilyah. Dalam segala suasana,
bayi Hilyah selalu mendengar kalimat-kalimat thayyibah tersebut.
Begitu memasuki usia 6 bulan, kedua orang tua Hilyah utamanya
sang ibu, secara khusus mulai memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah. Dengan
dibantu alat peraga yang dirancang keduanya secara khusus dari kertas kardus,
dibuatlah huruf-huruf hijaiyah menjadi menarik mata. Lalu bayi Hilyah
diletakkan di hadapan balok-balok huruf hijaiyah yang ditempel di dinding.
Secara kasat mata, apa yang dilakukan orang tua Hilyah sangat
tak lazim. Sebab, bagaimana mungkin anak usia 6 bulan akan merespons ucapan
orang dewasa selain senyum, tawa dan menangis? Tapi, Nuroniyah tak putus asa.
Dengan niat dan tekad kuat agar anak-anaknya kelak menjadi penghafal Al-Qur'an,
ia terus saja melafalkan huruf-huruf hijaiyah kendati bayi Hilyah menangis,
memegang mainan dan tidak merespons ucapan ibunya.
Walhasil, manakala usia 2 tahun diajarkan metode iqro', Hilyah
langsung bisa dan akhirnya lancar baca Al-Qur'an. Dan karena perkembangan yang
sangat progresif inilah akhirnya Muslim dan Nuroniyah memutuskan untuk
menargetkan Hilyah menghafal Al-Qur'an. Dengan kemampuannya itu Hilyah dapat
menghafal secara mandiri tanpa didampingi orang tuanya.
Cukup dengan menghafal sendiri di tempat-tempat tertentu seperti
kamar, ruang tamu. Dan begitu telah berhasil menghafal, barulah ia menyetorkan
kepada orang tuanya. Terbukti, ketika usianya memasuki 4-5 tahun, Hilyah sudah
mampu menghafal 5 juz, terhitung juz 30 - juz 26. Bahkan kini hafalannya telah
merambah ke juz awal, yaitu surat Al-Baqarah.
Juara
I Hafidz Indonesia.
Sadar akan kemampuan sang anak, Muslim dan Nuroniyah pun coba
mengikutsertakan Hilyah ke berbagai ajang perlombaan hafal Al-Qur'an. Tujuannya
tak lain untuk memotivasi dan membangkitkan semangat dan kepercayaan dari
Hilyah.
Tanpa dinyana, Hilyah malah mengukir prestasi. Ia meraih juara I
MHQ juz 30 Islamic Book Fair 2012, juara 1 MHQ juz 29 dan 30 di LTQ Asy Syifa,
juara 2 MHQ juz 29 dan 30 di Kafila Islamic International School se-DKI Jakarta
dan Jawa Barat, dan yang terbaru adalah sebagai juara 1 Hafidz Indonesia RCTI
2013.
Dari ajang Hafidz Indonesia inilah namanya melambung, dikenal
masyarakat luas. Acara yang memang sangat menginspirasi orang tua ini memberi
kesan tersendiri karena memang belum pernah ada sebelumnya.
Dengan pembawaan yang tenang, Hilyah selalu mampu melafalkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang diminta dewan juri kepadanya. Mereka berdecak kagum,
tak terkecuali para penonton yang hadir menyaksikannya. Bacaannya tartil,
fasih, tidak terburu-buru, tapi menarik untuk didengar. Mendengar lantunan
suara kecilnya yang syahdu ini tanpa terasa membuat para orang tua yang
melihatnya meneteskan air mata.
Untuk menjaga hafalannya, Hilyah rutin melakukan muraja'ah (menghulang
hafalan) secara acak. Terkadang juz 30, lalu juz ke 26, dan seterusnya. Yang
terpenting, bilamana terdapat sedikit kendala, ayah dan ibunya langsung
menggenjot kekurangan tersebut.